Oleh: Ridha Ananda Cipta
Ridha Ananda Cipta
Dari hadist riwayat Muslim, Nabi Muhammad Sallahu’alaihi
Wassalam berkisah, bahwa ada seorang laki-laki yang sedang dalam perjalanan
safar yang panjang, bajunya lusuh dan berdebu, lalu dia menengadahkan kedua
tangannya ke arah langit sembari berdo’a, “Wahai Rabbku wahai Rabbku” dia pun
meminta kebutuhannya. “Tetapi dia makan dari makanan yang haram, dia minum dari
minuman yang haram, tubuhnya dibalut pakaian yang haram, dan dia ditumbuhkan dari
daging yang haram. Bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan?!”
Kita semua sangat tahu bahwa mencuri adalah perbuatan
maksiat, yang mana hasil curian tersebut berstatus haram. Lazimnya pula yang
dianggap mencuri adalah hanya apabila pencurian dilakukan terang-terangan alias sudah jelas bahwa hal
tersebut adalah pencurian, seperti mencuri dompet, barang-barang, uang, pun
termasuk korupsi. Maka, semua barang yang dibeli dari uang/hasil tersebut, bila
dimakan akan jadi makanan haram, jadi daging haram, yang berdasarkan hadist di
atas akan menghalangi seseorang dari terijabahnya do’a sekalipun keadaannya
sangat memenuhi kriteria dikabulkannya do’a.
Satu yang sering kita lupa adalah bahwa di hadist tersebut
pun disebut “tubuhnya dibalut pakaian yang haram”. Zaman sekarang sangat lazim kita sering tak
sadar (atau memang sadar, tapi sengaja) sering menggunakan pakaian haram. Haram
bukan disebabkan mencuri pakaian dari jemuran orang atau mencuri pakaian dari
minimarket, tetapi haram sebab pakaian yang kita gunakan berstatus ‘KW’.
Barang KW adalah barang tiruan yang dibuat tanpa seizing
pemilik merek dan atau pemilik desain pakaian tersebut yang dibuat (biasanya)
dengan kualitas dibawah pakaian ori, ini juga bentuk pencurian, paling tidak
pencurian ide. Jenisnya pun bisa beragam, mulai baju, celana, sepatu, kaos
kaki, topi, jam hingga (maaf) pakaian dalam, hampir semua yang kita gunakan
saat ini paling tidak ada yang KW.
Lalu saatnya kita bermuhasabah, mengapa do’a kita tak
kunjung dikabulkan Allah: “tubuhnya dibalut pakaian yang haram”.
Lebih parahnya, di era kemajuan tekhnologi, ada hal lain
yang kita konsumsi yang juga haram tetapi sudah dianggap amat lazim. Hal yang
lebih krusial sebab begitu mempengaruhi pikiran kita.
Mari periksa di diri kita:
Apakah musik bajakan yang kita dengar itu halal?
Apakah buku bajakan yang kita baca itu halal?
Apakah apakah film bajakan yang kita tonton itu halal?
Apakah Operating System (OS) computer yang sehari-hari kita
gunakan untuk mencari nafkah itu kita halal?
Apakah software pendukung yang memudahkan kita
mengoperasikan komputer itu halal?
Lalu apakah hasil pekerjaan yang menggunakan peralatan
bajakan itu bisa kita bilang halal?
Jika masih ada jawaban “tidak” diantara pertanyaan di atas,
maka tinggal satu pertanyaan lagi: Pantaskah kita marah-marah kepada Allah
sebab do’a yang tak kunjung dikabulkan?
Lagi, mari kita bermuhasabah, terlebih bagi kita yang dengan
SENGAJA memilih barang KW atau bajakan, dari pada barang ori, hanya dengan
alasan “lebih murah” atau “gratisan”.
Berikut beberapa tips agar kita terhindar dari ‘mencuri’:
- Sesuaikan gaya dengan kebutuhan, pakaian rapi tak memerlukan merek terkenal
- Carilah alternatif-alternatif gratis yang memang dari awalnya gratis, seperti mengubah OS bajakan yang sehari-hari digunakan menggunakan OS yang gratis.
- Hindari segala sesuatu yang berbau bajakan, yang asli tentu lebih baik secara agama dan kualitas
- Jangan memaksakan diri bila memang tidak mampu membeli barang asli.
- Pelan-pelan singkirkan/buang/hapus barang, pakaian, musik, film, software dan sebagainya yang berstatus bajakan atau KW.
- Biasakan membeli dan menggunakan barang asli, walau membayar lebih sebab memang ada hak penghargaan atas pengkreasinya, pun ada kualitas yang lebih baik yang sepadan dengan harga.
- Mulailah dari hal yang paling bisa dirubah, contohnya tak lagi membeli kaus kaki berlogo ‘centang’ dengan harga yang tak lazim (murah).
Percayalah: “Sesungguhnya kamu tidak meninggalkan sesuatu
(keburukan) karena takwamu kepada Allah, melainkan Allah pasti akan memberimu
ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar